.
.
KENALI PROFESI KEWARTAWANAN
Jika ingin menjadi wartawan, pastikan itu adalah pilihan hati nurani, bukan atas perintah atau keinginan orang lain. Terutama tujuan awal memilih profesi penuh tantangan ini adalah bukan untuk “mengubah nasib” agar menjadi kaya, karena profesi wartawan memang bukan profesi mudah dan mengantar anda pada kekayaan yang instant. Namun jika dibandingkan dengan profesi lainnya, kekayaan dalam bentuk nonmateri dapat anda peroleh. Pertama kaya akan pengetahuan karena setiap saat menemui ragam informasi secara langsung. Kedua, kaya relasi, dari pejabat tinggi, orang-orang penting, atau artis. Ketiga, kaya akan ketrampilan dalam menulis. Keempat, kaya kemudahan, contohnya dalam hal administrasi, misalkan dalam pengurusan tiket masuk untuk mewawancarai artis atau pejabat kepresidenan. Kelima, kaya akan ilmu jurnalistik.
Namun menjadi seorang wartawan profesional memerlukan waktu yang tidak sebentar dan usaha yang keras. Sukses menjadi seorang wartawan senior membutuhkan jam terbang yang dimulai dari menjadi seorang reporter yang harus dijalani paling tidak selama lima tahun. Kemudian, dengan modal kecakapannya, ia naik satu tingkat menjadi seorang redaktur, paling tidak selama tiga tahun. Jika nasib baik berpihak padanya, mungkin saja ketika melamar suatu pekerjaan di suatu media massa baru, ia akan ditawari jabatan sebagai seorang pemimpin redaksi atau wakil pemimpin redaksi.
Dari sekian banyak pilihan profesi, mungkin profesi wartawan dianggap mayoritas orang sebagai profesi yang paling menantang. Anggapan ini didasarkan pada banyaknya tantangan yang harus dihadapi di lapangan ketika melakukan tugas peliputan. Namun pekerjaan ini juga membawa keuntungan-keuntungan lain, seperti dapat bertemu orang-orang penting, mulai dari pejabat Negara, pakar, orang top, sampai artis terkenal. Kemudian lewat profesi ini, seseorang dapat menyalurkan bakat tulis-menulis, lalu bebas berkarya dan berbangga atas karya tulisannya, karena setiap orang pasti akan sangat puas apabila melihat karya tulis / beritanya dimuat di media tempatnya bekerja.
Selain bakat menulis, dibutuhkan minat yang kuat dalam diri agar bisa menjadi energi dan semangat saat menjalankan pekerjaan. Keberanian juga harus ada untuk bisa menjalankan tugas wartawan yang penuh resiko. Tak berbeda dengan pekerjaan lainnya, pekerjaan wartawan memang beresiko. Jika lengah atau teledor dalam menyebut atau menuliskan berita yang dapat membuat “seseorang” tersinggung, wartawan tersebut bisa berurusan dengan pengadilan.
Ada 11 syarat yang diperlukan wartawan sebagai wartawan professional, yaitu memiliki minat dengan profesi wartawan, punya kemahiran menulis, menguasai bahasa Indonesia dan Inggris, memiliki bakat dan kreatif dalam melakukan reportase dan menulis berita, sanggup menemui berbagai individu di berbagai tingkat, sanggup bekerja tanpa memperhitungkan tempat dan waktu, memiliki pengetahuan luas dalam berbagai bidang, rajin mengikuti perkembangan berita di media cetak atau elektronika, menguasai teknik jurnalistik, dan menguasai bidang liputan, serta menaati kode etik jurnalistik. Tugas utama wartawan adalah memberikan kebenaran kepada publik agar mereka dapat menyimpulkan sebuah keadaan berdasarkan isi pemberitaan.
Terdapat 5 ciri khas yang dimiliki oleh seorang wartawan. Pertama, menyukai tantangan. Kedua, berani. Lalu memiliki daya tahan tinggi, memiliki kemampuan menggali sumber informasi, serta memiliki minat dan bakat dalam menulis berita. Bagi sekelompok orang, wartawan dikenal sebagai sosok yang menakutkan. Kelompok orang yang takut pada kehadiran wartawan adalah publik figur, pejabat pemerintahan, atau lembaga perusahaan yang memiliki kasus jelek, sebab jika kasus mereka terendus wartawan, hal itu bisa mencemarkan serta menjatuhkan nama baiknya. Selain itu, wartawan dikenal juga sebagai sosok yang selalu minta amplop pada saat melakukan wawancara dengan narasumber. Anggapan itu adalah mitos yang paling popular di kalangan masyarakat. Wartawan dianggap selalu meminta sejumlah uang pada setiap sumber yang diwawancarainya. Selain itu, profesi wartawan dianggap urakan. Masyarakat menganggap wartawan sebagai sosok yang berpakaian kumal, rambut acak-acakan, walaupun tidak semua seperti itu.
Profesi wartawan memungkinkannya untuk menulis apa saja. Salah satu kelebihan pada wartawan adalah akses untuk menuliskan apapun yang didengar dan dilihatnya serta menyebarkannya kepada masyarakat. Sosok wartawan dianggap manusia sakti. Hal ini dikarenakan wartawan terkesan dipermudah dalam menembus kompleksitas birokrasi. Wartawan begitu mudah mewawancarai narasumber dari kalangan pejabat, menteri, ataupun artis. Sementara masyarakat umum, tidak akan bisa menemui narasumber penting dengan seenaknya. Jam kerja wartawan adalah 24 jam, sebab wartawan bisa ditugaskan kapan saja, tergantung adanya event yang terjadi. Yang pasti, untuk menjadi seorang wartawan sukses, dibutuhkan profesionalisme terhadap bidang pekerjaannya.
TUGAS JURNALISTIK WARTAWAN
Di dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan juga harus trampil mengatasi liputan dengan tema di luar kebiasaannya. Strategi meliput berita yang penting bagi wartawan adalah ketika seorang wartawan melakukan tugas peliputan dan mewawancarai narasumber, ia harus mengetahui terlebih dahulu detail narasumber yang akan diwawancarainya dan membuat daftar pertanyaan yang akan ditanyakan. Kemudian, wartawan harus bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang bohong menggunakan nalurinya.
Dalam mengumpulkan berita, suatu peristiwa patut diangkat menjadi sebuah berita jika memang memiliki nilai berita, yaitu berita tersebut harus bermakna (significance), kemudian berita-berita yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak (magnitude). Berita harus baru (timeliness). Suatu kejadian yang berada di dekat pembaca. Kedekatan itu bisa secara geografis atau emosional (proximity). Kemudian suatu berita memiliki sisi manusiawi atau dapat menyentuh perasaan pembaca (prominence / human interest).
Ada dua bentuk laporan dalam kegiatan jurnalistik, yitu laporan yang biasa (Straight News Reporting), serta laporan yang lebih serius atau mendalam (In Depth Reporting). Bentuk penulisan berita bergaya “Straight News” kini mulai surut. Kini wartawan lebih menyukai penulisan berita dengan menggunakan gaya jurnalistik baru (New Journalism) yang menggunakan teknik penulisan feature. Teknik ini dianggap lebih luwes dan bisa disesuaikan dengan berbagia bentuk liputan sesuai ragam jurnalistik baru yang diapakai wartawan. Sedangakn “In Depth Reporting” merupakan laporan yang mendalam tentang suatu obyek yang menyentuh kepentingan khalayak dan layak diketahui umum.
Dalam melakukan wawancara, juga diperlukan suatu dtrategi khusus. Wawancara sebenarnya berupa obrolan biasa, namun mempunyai tema atau topik pembicaraan tertentu. Wawancara sangat penting dalam tugas jurnalistik wartawan karena merupakan sarana atau teknik pengumpulan data dan informasi. Strategi yang perlu dijalankan dalam wawancara adalah sebelum mewawancarai, wartawan harus bisa melakukan pendekatan yang baik saat melakukan lobi demi memperoleh waktu wawancara, dan kejelasan substansi yang akan dibicarakan. Wartawan harus bersifat obyektif. Ia juga dituntut untuk bisa mendalami permasalahan yang ingin ia ketahui, mempelajari latar belakang tokoh yang akan diwawancarai, serta melemparkan pertanyaan yang tajam dalam melumpuhkan narasumbernya.
Dalam menulis berita, tidak ada teori atau teknik khusus yang bisa membuat seseorang mahir dalam menulis. Ibarat perenang andal, ia menjadi mahir karena latihan dan kebiasaan. Jadi, kemahiran menulis itu juga bisa anda miliki apabila rajin membaca.
JURNALISME BARU DALAM PEMBERITAAN
Sebuah berita dikatakan memiliki daya tarik apabila mampu ‘menyihir’ pembaca dan menimbulkan sensasi pemberitaan yang luar biasa di kalangan publik. Mengungkap sebuah peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, misalnya kasus pembunuhan sadis, pemerkosaan, korban kekerasan, penyalahgunaan narkotika, atau korban HIV sungguh tidak mudah. Dibutuhkan rasa empati dan iba dalam diri wartawan atas penderitaan yang terjadi pada narasumbernya. Dengan demikian, narasumber tidak membuat jarak dan berani mengungkapkan penderitaannya kepada wartawan tanpa takut-takut.
Ada sejarah perkembangan jurnalistik baru. Di Amerika Serikat, jurnalistik baru lahir dan tumbuh sepanjang tahun 1960-an. Jurnalistik baru muncul karena kebosanan terhadap standar baku dalam melakukan tugas peliputan dan penulisan berita. Kebosanan itu juga melanda terkait tata kerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi ruang gerak wartawan, teknik penulisan, dan laporan berita.
Pada era jurnalistik lama, cara kerja wartawan hanya terfokus pada kegiatan reportase berupa pencatatan peristiwa berdasarkan fakta dan memuat pemberitaannya di media massa. Akhirnya muncul para perintis yang mulai mendobrak aturan dan kaidah jurnalisme lama. Mereka melakukan inovasi dalam bentuk tulisan, penyajian, serta teknik liputan. Kehadiran jurnalistik baru ini telah memberi keragaman bentuk penulisan bagi para pekerja jurnalis. Mengikuti arus perkembangan kehidupan, wartawan kini mulai membuka diri terhadap wacana teknik jurnalisme baru yang tidak lagi membatasi ruang gerak mereka dalam batas deadline dan teknik penulisan straight news, yang dianggap kuno.
Ada 8 teknik jurnalisme baru. Yang pertama adalah Jurnalisme Empati. Untuk melakukan jurnalisme empati ini, wartawan harus bisa membangun empati dengan narasumbernya sehingga menghilangkan jarak antara wartawan dan narasumber. Yang kedua adalah Jurnalistik Kekerasan / Perang. Jurnalistik ini memiliki karakteristik hanya memberitakan pertikaian di tengah masyarakat, dan lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya. Ketiga adalah jurnalisme Damai. Jurnalisme damai merupakan jurnalisme modern yang berpegang pada asas imparsialitas dan faktualitas, kebalikan dari jurnalisme perang. Jurnalisme damai mencoba memetakan konflik prakekerasan dengan mengidentifikasi berbagai penyebab untuk mencari jalan damai. Keempat adalah Jurnalisme Omongan. Wartawan Indonesia sudah puluhan tahun terbiasa melakukan liputan berita dengan menggunakan teknik jurnalisme omongan. Kebiasaan mengutip ucapan tokoh politik lebih sering digunakan oleh wartawan kita. Kelima merupakan Jurnalisme Advokasi, merupakan kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan dengan cara menyuntikkan opini ke dalam berita. Keenam adalah jurnalistik Alternatif. Kegiatan Jurnalistik ini biasanya dilakukan untuk penulisan berita yang menyangkut publikasi internal, misalnya memunculakn tulisan-tulisan yang lebih khusus dengan menampilkan hasil liputan untuk mengkritik pemberitaan tertentu yang lebih personal. Ketujuh adalah Jurnalisme Presisi, merupakan kegiatan jurnalistik yang menekankan pada ketepatan informasi dengan menggunakan pelaporan ilmiah dengan tujuan agar hasil laporan lebih representative. Terakhir, yang ke-8 dari teknik jurnalisme baru adalah Jurnalisme Sastra. Teknik jurnalisme sastra ini berkembang pertama kali di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Tom Wolfe di tahun 1970-an. Jurnalistik sastra telah membantu pers media cetak bersaing dengan media televisi. Kini wartawan dapat menggunakan jurnalistik sastra dengan menggunakan gaya penulisan tutur untuk reportase human interest.
MEDIA MASSA PEMBINGKAI BERITA
Wartawan memiliki kekuatan dalam mengungkapkan peristiwa melalui media massa sebagai wadah pembingkaian (framing) berita.
Menurut Bill Kovach, sebagai ketua lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di AS, setidaknya terdapat 9 elemen dalam media massa, yaitu:
- Media harus mengungkapkan kebenaran dalam pemberitaannya.
- Media harus loyal kepada masyarakat.
- Media harus menjunjung disiplin verifikasi.
- Meda harus bisa menjaga independensi terhadap sumber berita.
- Media harus bisa menjadi pemantau kekuasaan pemerintah.
- Media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga
- Media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik, dan relevan.
- Media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan proposional.
- Menulis berita berdasarkan hati nurani.
Ada beberapa kewajiban media massa. Yang pertama yaitu menyampaikan informasi. Media massa wajib menyampaikannya secara jujur dan benar sesuai fakta peristiwa kepada masyarakat. Namun pelaksanaannya tidak semudah itu. Masih banyak media massa yang menyimpang dalam menyebarkan informasi pemberitaannya kepada masyarakat.
Dalam pengungkapan suatu peristiwa, media massa dan wartawan memiliki tanggung jawab moral terhadap kebenaran informasi. Oleh karena itu, dalam pengungkapan suatu peristiwa, hendaknya menggunakan lebih dari satu sumber, sehingga memudahkan pembaca menemukan kebenaran. Media massa harus bisa menjadi mata dan hati bagi publik, bukan mata dan hati pasar. Jika sudah menempatkan dirinya pada kepentingan pasar, media tersebut secara otomatis akan mengusung asas bad news is a good news, bad picture is a good picture. Media massa juga merupakan bagian dari publik, jadi media massa juga berhak mempunyai hak untuk mengetahui kinerja pelayanan publik. Media massa perlu memuat berita berimbang, tidak bias gender dan bisa memberi empati, khususnya kepada kaum wanita dan anak-anak. Wanita kerap dijadikan bahan berita bagi media. Namun dalam pemberitaan, jangan terjebak memublikasikan wanita hanya karena permintaan pasar.
Media massa perlu menjalankan fungsi sosial. Menurut Harold D. Lasswell dan Charles Wright, media massa memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai pengamat sosial, dimana media massa hendaknya menyebarkan informasi dengan tujuan melakukan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian media massa berfungsi sebagai korelasi sosial, yaitu hendaknya memberikan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. Lalu media massa hendaknya mewariskan nilai-nilai yang baik serta bertugas untuk memberikan hiburan yang sehat dan kesenangan kepada masyarakat.
Media massa juga harus menjadi peredam konflik. Wartawan harus bisa membangun hubungan yang harmonis dengan pihak bertikai, sehingga media bisa menjadi pihak ketiga di dalam penyelesaian konflik. Selain itu semua, media massa juga berperan sebagai mediator publik, media komunikasi, juga alat propaganda (Sebagai sarana kampanye yang efektif kepada masyarakat).
Media massa juga harus jeli menampilkan pemberitaan yang dapat memikat pembaca. Misalnya berita tentang kasus bencana alam dan tsunami, atau peledakan bom, akan menjadi berita headline di hampir semua media massa. Media harus membimbing pembaca lebih cerdas. Media sebagai responsibility, atau membuat masyarakat merasa bertanggung jawab dan mau menolong korban bencana di tempat lain secara sukarela. Lalu media sebagai akuntabilitas, atau panampung sumbangan masyarakat jika ingin menolong korban-korban bencana.
Sayanganya dalam pelaksanaan kewajiban-kewajibannya, media massa juga kerap melakukan penyimpangan di dalam pelaksanaan peliputannya, seperti memelintir bahasa sehingga kebenaran berita tak bisa dipertanggungjawabkan, kemudian mencampuradukkan antara realita dan kepalsuan, memunculkan headline dan judul berita yang berbeda dengan isi berita sehingga tidak sesuai dengan kenyataan, melakukan dramatisasi fakta, mengutip kata-kata dari sumber yang kontroversial sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka, memunculkan efek dari kata-kaa bermakna ganda yang bisa membingungkan pembaca, tidak obyektif dalam pemberitaan, terlalu menghamba selera pasar padahal kemerdekaan sesungguhnya ada di tangan mereka, dan masih banyak pelanggaran-pelanggaran lainnya yang kerap kali dilakukan oleh wartawan dalam penulisan berita.
BAHASA JURNALISTIK DALAM BERITA
Menurut Atmakusumah Asraatmadja, Media massa berperan dalam pengembangan Bahasa Indonesia Jurnalistik di dalam pemberitaan. Bahasa jurnalistik merupakan salah satu ragam bahasa kreatif yang digunakan kalangan pers di dalam penulisan berita di media massa. Bahasa jurnalistik kerap disebut bahasa pers. Wartawan biasanya memiliki gaya tersendiri dalam penyampaian berita yang mereka tulis.
Bahasa jurnalistik harus mudah dipahami oleh setiap orang, bahkan harus bisa dipahami oleh tingkat masyarakat berintelektual rendah. Ciri-ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik adalah singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, dan jelas. Penggunaan kata-kata yang pas, penggunaan kalimat efektif, serta penggunaan alinea atau paragraf yang kompak juga perlu dalam bahasa jurnalistik.
Berdasarkan aspek kebahasaan, wartawan kerap melakukan kesalahan dalam penulisan berita. Hal ini disebabkan oleh minimnya penguasaan kosakata, sehingga wartawan menulis berita tanpa memperhatikan gramatikal bahasa yang benar. Kesalahan ini juga bisa disebabkan oleh tak adanya redaktur bahasa dalam surat kabar sehingga banyak naskah yang tidak dikoreksi sebelum diterbitkan.
Menurut Stanley, pendiri Aliansi Jurnalis Independen, terdapat beberapa kesalahan bahasa jurnalistik dalam pemberitaan, antara lain kesalahan morfologis, contohnya “Pesawat Garuda terjatuh tepat Bawah Sungai Kota Jember”. Lalu kesalahan sintaksis, yaitu kesalahan pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat yang kurang benar yang mengacaukan maknanya, contohnya “Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya ke AS”. Lalu kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan, contohnya “Penculikan Mahasiswa oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI”, dimana kata ‘pil pahit’ seharusnya diganti ‘kejahatan’. Lalu kesalahan eja, seperti kata jumat sering ditulis jum’at, atau jadwal ditulis jadual. Terakhir kesalahan pemenggalan, maksudnya kesalahan pada pemenggalan kata yang terkesan asal-asalan.
KAJIAN ANALISA BERITA
Dalam pemberitaan Jurnalisme Empati, wartawan harus menumbuhkan rasa empati dirinya terhadap narasumber. Hal ini penting bagi wartawan agar bisa menyelami keadaan narasumber dan tidak membuat narasumber takut atau enggan mengungkapkan keadaan dirinya. Misalnya peliputan pada kasus korban AIDS, untuk mengorek informasi tentang korban, wartawan harus memberkali dirinya dengan informasi penyakit tersebut sehingga mempermudah upaya pengumpulan data. Oleh karena itu, peranan media massa sangat penting bagi pencegahan korban penyakit AIDS.
Sedangkan dalam Jurnalisme Kekerasan, dibutuhkan persiapan mental yang tangguh dan kemampuan wartawan dalam menguasai penggalian informasi narasumber. Wartawan yang melakukan tugas peliputan di daerah konflik dituntut untuk bisa membangun relasi dengan piha-pihak yang bertikai. Yang perlu diingat dalam melakukan tugas liputan jurnalisme kekerasan, wartawan harus bersikap netral, harus dekat, namun tetap menjaga jarak dengan kelompok yang tengah bertikai.
Dalam pemberitaan Jurnalisme Damai, wartawan yang melakukan kegiatan peliputan berita jangan sampai terjebak pada pemberitaan yang menampilkan daftar angka kekerasan sebagai “menu berita utama” bagi pemberitaan media massanya.
Pada pemberitaan Jurnalisme Omongan, wartawan kadang memanfaatkan informasi dari mulut ke mulut di zaman kekuasaan Soeharto. Wartawan kerap menggunakan pendapat ahli yang dianggap kompeten terhadap isi pemberitaan untuk memperkuat pendapatnya sendiri.
Pada pemberitaan Jurnalisme Advokasi, wartawan berusaha menyuntikkan opininya ke dalam berita yang ia tulis. Jurnalisme advokasi memercayai objektivitas fakta berita yang diolahnya. Misalnya pemberitaan di masa Orde Baru banyak memuat berita yang menyoroti cacat pemerintahan Soeharto yang ditulis dalam bentuk jurnalisme advokasi. Pemberitaan itu juga melontarkan caci-maki terhadap pemerintahan Orde Baru untuk menciptakan isu dan memancing opini masyarakat.
Penyajian dan pemberitaan pers alternatif tampil lugas. Pada pemberitaan Jurnalisme Alternatif, isi pemberitaan pers lebih kritis dan tidak memuat pernyataan pejabat Negara sebagai sumber berita. Isi tulisan pers alternative membela demokraisasi rakyat. Contohnya peranan media massa yang berhasil membentuk opini rakyat terhadap kejatuhan pemerintahan Soeharto yang terjadi di tahun 1998.
Pemberitaan Jurnalisme Presisi lebih difokuskan pada pencarian data dan ketepatan informasi yang empirik. Hasil harus memiliki kredibilitas akademis sehingga mampu membuat tulisan bergaya ilmiah yang mudah diterima oleh pembaca. Contohnya peristiwa angka kecelakaan di Jakarta ditulis dalam bentuk grafik dan tabel sebagai alat untuk mentransfer fakta ke dalam angka kuantitatif.
Pada pemberitaan Jurnalisme Sastra, lebih ditekankan pada pemakaian gaya fiksi untuk mengemas laporan jurnalistik dengan memunculkan fenomena baru dalam hal fakta. Laporan fakta ditulis dengan teknik bercerita sebagaimana halnya fiksi, dengan mengungkap adegan demi adegan, suasana demi Susana. Wartawan menyajikan scene peristiwa demi peristiwa berita dalam urutan yang membuat pembaca seolah-olah berada di lokasi kejadian. Namun penggerak jurnalisme sastra di Indonesia masih sedikit.
Lewat buku Ragam Jurnalistik baru dalam Pemberitaan kaya Eni Setiati ini, pembaca yang berminat terhadap profesi sebagai wartawan dapat menemukan banyak fakta menarik dari profesi ini. Buku ini juga menyajikan referensi yang tepat, bervariasi, dan berguna bagi anda yang berminat menekuni profesi wartawan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
.