Meneliti lebih dalam mengenai ilmu jurnalistik memerlukan keahlian dan keberanian terutama saat para jurnalis wajib turun ke lapangan dan mengumpulkan informasi sebanyak dan seobjektif mungkin.
Pada awal bekerja, para jurnalis paling tidak harus telah terbekali dengan macam jurnalisme baru, lewat postingan ini, biar kalian para jurnalis-juranlis masa depan bisa tahu, seperti apa sih JURNALISME BARU itu???
6 Jurnalisme Baru Beserta Contoh-Contohnya:
1. Jurnalisme Kemanusiaan:
Teknik pengumpulan informasi dari narasumber dengan rasa kemanusiaan atau rasa iba. Dengan memiliki rasa empati, seorang jurnalis dapat menghilangkan jarak antara dirinya dengan narasumber, sehingga informasi yang mendalam-pun dapat diperoleh pada akhirnya melalui narasumber.
Jadi, jurnalisme kemanusiaan adalah jurnalisme yang didasarkan pada esensi dasar kemanusiaan atau nilai-nilai kemanusiaan. Kegiatan jurnalistik yang merendahkan martabat manusia seperti pemberitaan kekejaman perang yang berakibat semakin jauhnya dari perdamaian bukan jurnalisme kemanusiaan. Tetapi, peliputan pemberitaan yang menyeimbangkan dari semua pihak (all sides) yang bertikai dan secara adil misalnya, masuk dalam kriteria jurnalisme kemanusiaan. Sementara itu, jurnalisme non kemanusiaan adalah bertolak belakang dengan jurnalisme kemanusiaan itu sendiri dengan tidak memegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan. Berita yang dibuat asal jadi dengan tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan, merendahkan martabat kemanusiaan adalah contoh jurnalisme non kemanusiaan.
Contoh Jurnalisme Kemanusiaan:
Seorang wartawan yang dalam kegiatannya sehari-hari diabdikan diri untuk kemanusiaan, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, selalu mempertimbangkan fakta yang diliput secara adil, seimbang dan memperhatikan dampak yang ditimbulkannya adalah seorang humanis. Seorang wartawan karena idealisme kemanusiaan menolak penugasan dari atasannya yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan adalah seorang humanis pula.
Seorang wartawan yang ditugaskan untuk mewawancara korban kecelakaan pesawat yang wajahnya telah hancur, dan sekujur tubuhnya telah terbakar api dari kecelakaan, tentu harus diberi pendekatan yang lembut. Wartawan yang bertugas harus memiliki rasa iba, empati, rasa kemanusiaan, hingga narasumber yang akan diwawancara dapat merasa dihargai, tidak direndahkan, dan akhirnya mau terbuka untuk berbagi pengalaman dan informasi.
Sumber Informasi:
http://nurudin.multiply.com/journal/item/29/Pentingnya_Menegakkan_Jurnalisme_Kemanusiaan_Bagi_Pers_Kita, dan buku Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan karya Eni Setiati
2. Jurnalisme Perdamaian:
"Jurnalisme Damai" adalah jenis jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian. Istilah ini bisa saja digunakan untuk membedakan dari "jurnalisme perang". Yakni jenis jurnalisme yang mengobarkan peperangan dengan penyampaian informasi yang bersifat provokatif, intimidasi, dan desas-desus. Penganut paradigma jurnalisme perang tidak hanya mengobarkan konflik tetapi juga memotret kekerasan secara telanjang. Istilah jurnalisme damai ini mulai diperkenalkan kali pertama oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan pada 1970-an. Galtung mencermati, banyak jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada asumsi yang sama, seperti halnya para jurnalis yang meliput olahraga. Yang ditonjolkan hanyalah kemenangan dan kekalahan dalam "permainan kalah-menang" antardua pihak yang berhadapan. Jenis jurnalisme damai disosialisasikan secara intensif di berbagai negara di dunia, khususnya di wilayah-wilayah konflik mulai akhir 1980-an. Di Indonesia, jurnalisme damai menjadi sebuah wacana ketika terjadi konflik Ambon, menyusul konflik-konflik lain atas dasar SARA.
Contoh Jurnalisme Damai:
MERENUNGKAN JASA SOEHARTO
Harus diakui bahwa meninggalnya mantan Presiden Soeharto membuat kita mencoba merefleksikan ulang, bahwa negeri ini pernah berada pada titik puncak keberhasilan pembangunan. Jujur kita katakan bahwa di jamannya memerintah, bangsa kita pernah menikmati betapa mudahnya hidup kala itu. Bagi sebagian masyarakat, di jaman Soeharto, kehidupan memang tidak sesulit sekarang. Kini, harga-harga mahal, bahkan kebutuhan pokok amat mahal. Pada periode 1980-1993, pemerintah memang memiliki kemampuan untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan sekitar 8 persen setahun dengan nilai tukar terhadap dollar Amerika sekitar Rp 2.500-3.500 per dollarnya. Akibatnya, memang secara jelas, masyarakat bisa membeli segala sesuatu dengan murah. Inflasi yang gila-gilaan di akhir periode Orde Lama, berhasil dikendalikan. Dengan menerapkan pertumbuhan ekonomi melalui hadirnya berbagai unit usaha bagi masyarakat kecil, sebagian besar masyarakat di pedesaan memang menikmati hasilnya. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana Soeharto bisa mengubah wajah Indonesia. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mengubah diri dari negara terbesar dalam mengimpor beras, akhirnya menjadi negara berswasembada pangan. Lebih dari 3 juta ton padi dihasilkan setiap tahunnya. Bandingkan dengan sekarang yang justru defisit lebih dari 1 juta ton setiap tahun. Meski bukan lulusan sekolah ekonomi, mantan Presiden itu dikenal lihai memotivasi para petani dan nelayan. Mereka dikunjungi dan diberikan motivasi untuk bisa memajukan pekerjaannya, sehingga menjadi petani adalah kebanggaan. Bahkan beliau dikenal suka memperkenalkan diri sebagai ”anak petani”, untuk meningkatkan gairah dan harga diri para petani. Bukan hanya dalam bidang pertanian, salah satu sukses besar Orde Baru adalah dalam bidang kesehatan dan KB. Karena adanya kesadaran bahwa daya pembangunan akan terserap oleh jumlah penduduk, maka mantan Presiden Soeharto membangun dan menggalakkan program KB. Ia mencanangkan berbagai upaya mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui berbagai upaya yang pada gilirannya berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduk kita. Di bidang kesehatan, upaya meningkatkan kualitas bayi dan masa depan generasi ini dilakukan melalui program kesehatan di posyandu, sebuah upaya yang mengintegrasikan antara program pemerintah dengan kemandirian masyarakat. Di jamannya, program ini memang sangat populer dan berhasil. Banyak ibu berhasil dan peduli atas kebutuhan balita mereka di saat paling penting dalam periode pertumbuhannya. Yang tidak kalah penting adalah, karena Indonesia memiliki prospek yang sangat baik, terutama dalam menjaga kawasan baik di Asia Tenggara dan Asia, serta masa depan Indonesia yang dianggap sebagai macan Asia, Soeharto dan bangsa Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri. Negara lain yang kini terang-terangan berani ”mengganggu” keberadaan kita seperti Malaysia dan Singapura, dulu tidak pernah menganggap Indonesia serendah sekarang. Jujur kita sampaikan bahwa dulu, kita sangat bangga karena kita punya banyak kiprah dalam memajukan wilayah ini. Semuanya hanya sekelumit kisah supaya kita memandang jasa mantan Presiden Soeharto dalam konteks yang berimbang, meski kita tahu ada masa dimana beliau digunakan sebagai alat oleh orang-orang yang ingin memperkaya diri dan menguntungkan kelompok tertentu. Itu adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Pertanyaan berikutnya kepada para pemimpin sekarang adalah, sanggupkah mereka mengembalikan kebanggaan dan kejayaan yang pernah sangat menggetarkan hati itu? Ini adalah tantangan bagi mereka.
Dalam hal ini, jurnalis memiliki tujuan mendamaikan seluruh warga Indonesia dengan mantan Presiden Indonesia yang pernah memiliki masa lalu yang kejam. Lewat info ini, yang ditekankan bukanlah kejahatan-kejahatan Soeharto, bukan masalah korupsinya, namun jasa-jasanya, kebaikan-kebaikan Beliau bagi Indonesia. Tujuan berita ini tentu agar tidak ada lagi dendam yang tertinggal antara masyarakat Indonesia dengan Soeharto.
Sumber Informasi:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/16/opi01.html, dan
http://opini.wordpress.com/2008/01/29/merenungkan-jasa-soeharto/
3. Jurnalisme Perang:
Meliput peristiwa konflik (kekerasan), pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar bagi pers. Salah satu kriteria untuk mengukur apakah suatu peristiwa layak diberitakan atau tidak adalah kandungan unsur konflik itu sendiri. Semakin keras konflik yang terkandung dalam suatu peristiwa, semakin tinggi nilai beritanya. Rumus seperti ini, masih banyak dianut oleh kalangan jurnalis. Akibatnya ketika meliput suatu konflik (etnis), orientasi liputan yang dominan terbingkai dalam apa yang disebut sebagai jurnalisme perang (war journalism). Liputan jurnalis lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya itu sendiri. Jurnalisme perang lebih berfokus pada arena atau tempat dimana konflik itu terjadi, jumlah korban yang mati, penderitaan korban, rumah yang hancur atau harta benda yang terbakar. Dengan kata lain, jurnalisme perang lebih suka mengeksploitasi the visible effect of violance, korban kekerasan yang tampak, dibanding yang tidak tampak. Akibatnya jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.
Contoh Jurnalisme Perang:
Belakangan berita tentang kenaikan harga minyak goreng disusul susu begitu provokatifnya tersiar di televisi sehingga tak sedikit membikin resah kaum menengah bawah yang dengan penghasilan pas-pasan. Tulisan ini tidak akan mengomentari mengapa harga itu harus tinggi, itu sudah banyak ditulias dan dibahasa serta diseminarkan dan sudah mejadi tangung jawab moral bersama untuk mencari solusinya. Disebut bersama karena jangan hanya pemerintah saja yang harsu menanggung beban moral atas kenaikan ini. Harga CPO dan susu segar dunia yang meroket bukan tanggung jawab pemerintah untuk menurunkan karena bagaimanapun juga pasar bebas dunia sudah berlaku di negeri ini. Pemberitaan kenaikan susu sering diiringi dengan pemberitaan adanya anak yang diberi tajin sebagai pengganti susu karena harga yang tak terjangkau lagi. Parahnya sebagian pemberitaan juga mengekspose anak yang terkena penyakit HO atau busung lapar. Sudah begitu, text yang dibaca pembawa berita menyebutkan busung lapar ini akibat kenaikan harag susu yang melambung tinggi.
Berita ini memiliki tujuan untuk memberi informasi bagi masyarakat, dan mungkin sebenarnya merupakan tujuan yang baik. Namun di luar itu, berita ini memiliki sifat provokasi, sehingga bukan tidak mungkin masyarakat terdorong untuk marah, dan akhirnya menimbulkan perang antara Pemerintahan dengan masyarakat Indonesia.
Sumber Informasi:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm,
http://buntomijanto.wordpress.com/2007/07/20/jurnalisme-damai-bukan-jurnalisme-perang/,
dan http://blog.360.yahoo.com/blog-FGuuiaYOeaPVV7ioips-?cq=1&p=111
Jurnalisme Advokasi adalah kegiatan jurnalistik yang dilakukan wartawan dengan cara menyuntikkan opini pada beritanya. Adi dalam berita tersebut, ada suatu opini yang dimasukkan dengan tujuan mempersuasi. Dengan demikian, advokasi bukanlah tindakan terlarang bagi jurnalis. Namun, jurnalisme advokasi sangat berbeda dengan propaganda. Jika propaganda secara sepihak memenangkan salah satu kubu, maka jurnalisme advokasi memberikan dukungan dengan cara menyoroti orang-orang tanpa daya yang memiliki komitmen untuk memperbaiki kepentingan umum.
Contoh Jurnalisme Advokasi:
Sungguh malang menjadi guru di Indonesia! Penghasilan mereka sedemikian kecil. Itu pun sering dipotong tanpa alasan yang jelas. Aksi unjuk rasa ribuan guru untuk menuntut realisasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hanya ditanggapi pemerintah dalam bentuk janji-janji yang tidak pasti. Tragedi yang dialami para guru semakin meninggi. Kejujuran mereka untuk mengungkap kebusukan justru membuahkan pemecatan. Itulah yang dialami kalangan guru yang terhimpun dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Sebanyak 27 dari 30 guru dalam organisasi KAMG yang menyingkap kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2007 di Medan dikenai sanksi. Sebagian besar dipecat dan yang lainnya dikurangi jam mengajarnya oleh pihak sekolah tempat mereka mengabdi. KAMG menunjukkan bahwa kecurangan itu melibatkan pihak sekolah dan dijalankan secara sistematis bersama Kantor Diknas setempat (Media Indonesia, 20 Juli 2007). Peristiwa serupa terjadi di Bandung. Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), yang juga adalah anggota tim pemantau UN 2007 dari Dewan Pendidikan Kota Bandung, terancam sanksi penundaan kenaikan pangkat. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang memiliki keharusan moral untuk melindungi para guru, ironisnya, menunjukkan sikap masa bodoh. Gejala ini dapat disimak dari pernyataan Mendiknas Bambang Sudibyo yang menegaskan, Depdiknas tidak akan memberikan perlindungan kepada guru yang mengungkapkan adanya dugaan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Perlindungan hukum, tegas Mendiknas, adalah tugas kepolisian.
Apakah yang dapat dijalankan kalangan jurnalis ketika menghadapi peristiwa sosial semacam ini? Haruskah para jurnalis sekadar berdiam diri dengan berdalih pada objektivitas pemberitaan? Apakah jurnalis harus membela atau mengadvokasi para guru yang berada dalam situasi dipinggirkan? Memang, jurnalisme dan advokasi merupakan dua hal yang sangat berlainan. Jurnalisme adalah aktivitas mengumpulkan dan menyebarkan fakta dalam bentuk berita. Kegiatan ini dilakukan jurnalis yang bekerja dalam lembaga media massa. Advokasi merupakan tindakan pembelaan yang dijalankan aktivis sosial untuk mendukung perjuangan mereka yang dilemahkan. Jurnalisme menuntut wartawan mempraktikkan objektivitas. Advokasi menuntut aktivis menjalankan dukungan berdasarkan pada subjektivitas. Dalam jurnalisme, KAMG yang membongkar kecurangan pelaksanaan UN itu disebut sebagai ”peniup peluit” (whistleblower). Mereka melaporkan ketidakberesan kepada pihak yang berwenang supaya ada tindakan korektif untuk memperbaiki keadaan. Jika pihak yang memiliki otoritas justru menyudutkan kedudukan mereka, dengan dalih mencermarkan nama baik misalnya, selayaknya jurnalis mengadvokasi whistleblower ini. Bukan untuk menciptakan sensasi atau menambah kontroversi jika jurnalis melakukan advokasi. Tujuan jurnalis dalam kasus ini adalah membeberkan peristiwa beraroma skandal yang menggerogoti dunia pendidikan.
Sumber Informasi:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6885&Itemid=59 dan buku Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan karya Eni Setiati
5. Jurnalisme Kolaborasi:
Jurnalisme Kolaborasi adalah pengganti dari Jurnalisme Presisi. Jurnalisme Kolaborasi menjadi menarik karena mengusung interaktif, akrab, dan dekat satu sama lain. Orang akan dengan mudah mengeluarkan suaranya. Puluhan ribu orang di luar sana dapat membuat sesuatu yang besar hanya dalam hitungan menit. Hasilnya tak kalah dahsyat dengan besutan jurnalis profesional. Interaktivitas itu dapat dengan cepat menyebar karena fasilitas blog yang menjamur. Dengan adanya blog, semua orang bisa mencurahkan isi hatinya. Tanpa batas. Tanpa merasa perlu melanggar kaidah. Bahkan kaidah jurnalistik sekalipun. Tak akan ada yang protes. Tak dapat dielakkan adanya komentar, baik pro maupun kontra. Tetapi justru disanalah indahnya kebersamaan jurnalisme kolaborasi. Tak perlu mengindahkan hal paling penting dalam kaidah jurnalistik bernama validitas data. Jurnalisme presisi mungkin akan tetap berharga di hadapan media massa tradisional. Pada jurnalisme presisi, perkembangan jurnalisme memfokus pada kerja pencarian data. Arah kerja jurnalistik membentuk ukuran ketepatan informasi empirik. Hasil liputan ditujukan untuk mencapai kredibilitas bagi penginterpretasian masyarakat. Mereka menargetkan akan informasi yang terukur. Kini, masyarakatlah yang akan menentukan. Tetapi bisa dipastikan jurnalisme kolaborasi akan menempati garda terdepan dalam peran eksplorasi ide dan emosi. Itulah yang diinginkan masyarakat. Jadi kesimpulannya, Jurnalisme Kolaborasi adalah sistem jurnalis baru dimana sumber informasinya diperoleh dari kolaborasi hasil pemikiran masyarakat luas melalui dunia internet atau blog pribadi tiap orang.
Contoh Jurnalisme Kolaborasi:
BLOGGER MALAYSIA MENANGI PEMILU 2008
Setidaknya dua orang blogger Malaysia berhasil memenangkan Pemilu 2008 di wilayahnya masing-masing. Tony Pua Kiam Wee, yang bertarung memperebutkan kursi Parlemen di Petaling Jaya Utara, Selangor, berhasil memperoleh suara sebanyak 37.851 dari total suara yang masuk sebanyak 76.618. Perolehan suara Tony tersebut dua kali lipat dari perolehan Datin Paduka Chew Mei Fun yang dicalonkan partai yang berkuasa, Barisan Nasional. Sementara di daerah pemilihan Rembau, Negeri Sembilan, Jeff Oii Chuan Aun berhasil meraup 30.493 suara, menggungguli Dr. Thor Teong Ghee dari Barisan Nasional yang mendapatkan suara sebanyak 14.247. Kemenangan Tony Pua dan Jeff Ooi ini tentu saja disambut gembira para pendukungnya, terutama para blogger yang ramai-ramai mengucapkan selamat di blognya. Apa yang bisa ditarik dari kemenangan tersebut? Meski bisa saja menyimpulkan bahwa popularitas mereka di dunia blogospehere lah yang telah mendorong kemenangan tersebut, namun satu hal yang pasti, mereka dengan cerdik telah memanfaatkan blog sebagai medium yang pas untuk memuat dan menyampaikan gagasan-gagasannya, karena meskipun diawasi, namun masih bisa lebih bebas dibanding media konvensional. Para blogger tersebut tampaknya ingin membuktikan bahwa blogger bukanlah pengecut seperti yang dikatakan Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia Azalina Othman, apalagi pembohong seperti yang dikatakan pakar ini. Para blogger tersebut ingin mengatakan bahwa apa yang disampaikan dalam blognya adalah bukan merupakan kebohongan dan tidak ada identitas penulisnya yang disembunyikan. Sehingga jika terdapat ketidakbenaran subtansi dalam blog, pembaca mestinya tahu kemana harus memintakan penjelasan semestinya. Selain itu, para blogger yang terjun ke politik tersebut juga menyadari sepenuhnya bahwa upaya membangun pertemanan di dunia maya dapat ditindaklanjuti ke dunia nyata, melalui berbagai macam kopdar, tanpa harus menjadi autis saat bertemu. Kalau kedua blogger Malaysia tersebut telah menunjukkan efektifitas blog sebagai medium berpolitiknya, ditengah kekangan pemerintahnya terhadap media massa konvensional, maka blogger Indonesia tentunya dapat melakukan hal serupa. Bahkan mungkin lebih baik karena media di Indonesia jauh lebih bebas. Karenanya jika terdapat blogger Indonesia yang ingin berpolitik, meski sebelumnya telah memiliki profesi sendiri seperti Dosen, Praktisi IT, Sutradara, Artis, Pengamat, Olahragawan, Ustad, Wartawan dan sebagainya, sebaiknya profesional saja. Ketika akhirnya memutuskan terjun ke dunia politik, jadilah politisi yang sungguhan alias benar-benar profesional, bukan sekedar jadi politisi karena ada yang menawari. Dengan keahlian dan latar belakang profesi yang dimilikinya, tentunya akan memudahkan dalam menjalankan tugasnya saat terpilih sebagai pejabat politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Diharapkan, Kebijakan-kebijakan atau berbagai peraturan yang dihasilkannya bisa lebih didasarkan pada nurani dan pertimbangan profesionalisme.
Aris Heru UtomoLabels: Indonesia, internet
kucingkeren said... wahhh..hebat yaa, blogger Malaysia. Blogger Indonesia gmn nih? apa bisa jadi anggota parlemen 2009 nanti? Mas Aris tertarik? :-) serius nih...ntar sy dukung deh ..
iman brotoseno said... kalau saya dukung Nurrl Izza aja, ( yang anaknya Anwar Ibrahim )..yang juga running for parlement * soalnya ayu rek he he
Aris said... #Mbak Susan: Thanks utk dukungannya, nanti tak pikir2 dulu (halah) #Mas Iman: Nurrul Izza juga menang lho dlm pemilu ini. Kapan2 diajak kopdaran mas :)
amethys said... hihihi....jadi penonton aja ah...ga dong ama politik...
Sumber Informasi:
http://mataharilain.wordpress.com/2006/07/12/jurnalisme-presisi-vs-jurnalisme-kolaborasi/
dan ARIS HERU UTOMO’S BLOG (http://arishu.blogpot.com/2008/03/setidaknya-dua-orang-blogger-malaysia.html)
6. Jurnalisme Investigasi:
Jurnalisme Investigasi adalah sebuah metode peliputan untuk menyibak kebenaran kasus atau peristiwa. Wartawan investigasi dituntut agar mampu melihat celah pelanggaran, menelusurinya dengan energi reportase yang besar, membuat hipotesis, menganalisis, dan pada akhirnya menuliskan laporannya. Jurnalisme investigasi ada ketika terjadi penyimpangan dalam suatu tatanan masyarakat. Pers punya peranan sangat penting untuk dapat menginformasikan peristiwa yang menyimpang itu. Tidak berhenti sampai titik ini, pers juga bisa melangkah jauh mengusut kesalahan, menemukan kebenaran, dan mengadakan perubahan. Jurnalisme investigasi adalah sebuah paham yang sudah lama muncul di Amerika Serikat pada abad ke-17. Genre ini merasuki media massa di Indonesia kala Orde Baru. Media massa cetak yang pertama kali menggunakannya adalah Harian Indonesia Raya, di bawah asuhan Mochtar Lubis. Kondisi politik dan ekonomi suatu negara amat sangat mempengaruhi kemunculan dan pertumbuhan jurnalisme investigasi.
Contoh Jurnalisme Investigasi:
Sekelebat, pentungan mendarat tepat di tubuh tikus berkumis panjang. Tak berdaya, tikus lalu dimasukan kedalam ember hitam. Tempat semua tikus sawah dan got hasil tangkapan dikumpulkan. Malam itu, Edi--bukan nama sebenarnya--tidak sedang membersihkan sawah dari hama yang bernama tikus. Edi juga tidak berburu tikus got untuk membersihkan lingkungan
disekitar rumah. Dia Berburu tikus untuk mengoplosnya dengan daging sapi. Kabarnya, daging-daging itu dipersiapkan untuk membuat BAKSO. BENARKAH? Apakah Edi benar-benar tega mencampur daging sapi dengan daging tikus? Atau cerita diatas hanya isapan jempol belaka? Banyak kisah, dongeng, isu, gosip tentang bakso tikus yang beredar di masyarakat. Tim investigasi REPORTASE Trans TV menelusuri keberadaan bakso tikus ini. Surprise ! Kami menemukan praktik penjualan bakso tikus. Bukan hanya itu, dipasaran ternyata bakso juga tercampur dengan 6 zat kimia mematikan. termasuk bahan boraks alias bahan baku deterjen dan lem kayu. Mual? Jangan dulu ! Sebab tidak semua bakso yang beredar mengandung boraks apalagi daging tikus. Lalu apa perbedaannnya? Dimana dijualnya?
Wartawan Reportase Investigasi Trans TV yang menyelidiki tentang masalah bakso tikus ini sedang menjalankan sistem jurnalisme Investigasi. Dimana narasumber harus disembunyikan identitasnya, harus ada kamera tersembunyi, alat perekam tersembunyi, dan lain sebagainya. Tujuannya agar masyarakat luas tahu tentang kebenaran dan pada akhirnya dapat lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi bakso yang akan mereka makan.
Sumber Informasi:
http://wisata_buku.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1014&Itemid=1153
dan http://www.mail-archive.com/ibtc@yahoogroups.com/msg00067.html
Maju terus JURNALISME INDONESIA!!
Nico : "Bu Fanny, Johansen mao jadi asdosnya bu fanny neh...
ReplyDeletesalah satu cara menarik hati bu fanny ya postingin ttg ni, gmn bu?"
*Males2 ambumu badegkh* ----> ricky's voice
wahahahaha...
nice post babe ^^v
very informative =D
kalau memihak bukan jurnalis namanya bosss...
ReplyDeleteingat selalu ada jarak kalau tidak ada jarak maka
independent donkkk...?!!
bagaimana dengan jurnalisme konstruktif atau jurnalisme positif? menurut anda bagaimana ragam jurnalisme baru tersebut ?
ReplyDelete