.
Apa itu Human Relations Approach?
Human Relations Approach adalah hal-hal yang berkaitan untuk memotivasi orang-orang di dalam organisasi dengan tujuan mengembangkan kerjasama tim yang efektif untuk memenuhi kebutuhan mereka serta mengarahkan mereka pada pencapaian tujuan organisasi.
Human Relations Approach dicetuskan pada tahun 1930 sebagai reaksi melawan pandangan mekanik dalam sebuah organisasi dan pandangan pesimis dari manusia yang diajarkan oleh pendekatan klasik.
Manusia adalah makhluk hidup yang kompleks dikarenakan beragamnya variabel yang bisa mengubah keadaan manusia. Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (dalam Schein: 1992) menyatakan bahwa “in some societies humans are seen as basically evil, in others as basically good, and in still others as mixed or neutral, capable of being either good or bad”. Pernyataan ini mengarahkan pada keberagaman pandangan terhadap natur manusia yang berarti bahwa cara penanganan manusia yang berbeda-beda pula.
Pada pemikiran organisasi awal, motivasi pekerja diperkirakan berasal dari sisi ekonomi saja (Schein, 125: 1992). Namun Argyris, 1964 (dalam Schein, 1992: 125) menyatakan bahwa, “employees are self-actualizers who need challenge and interesting work to provide self-confirmation and valid outlets for the full use of their talent”, sehingga motivasi bekerja seseorang tidak hanya datang dari dorongan ekonomi namun adanya keinginan untuk mengaktualisasikan diri.
Dalam Human Relations Approach, penekanannya ada pada motivasi individual, tujuan dan aspirasi. Selain itu, keberhasilan organisasi dapat dicapai jika ada motivasi individual dan hubungan interpersonal, terutama antara supervisor dengan bawahannya.
Rensis Likert pada tahun 1961 dan 1967 mengemukakan tentang “Linking-pin Model” yang menjelaskan bahwa “organizations should consist of ‘families’ that are tied together through their common members, who act as linking pins”. Likert memaparkan bahwa dalam setiap subordinat organisasi terdiri dari pengawas yang bertanggungjawab atas subordinatnya dan melapor pada pengawas di tingkat hirarki yang lebih tinggi. Linking pins bertugas yang bertugas sebagai penghubung harus bisa mendelegasikan tugas dari atas dan menyampaikan ‘suara’ dari bawah. Linking pins juga melapor tidak sebagai individual tetapi atas nama subordinat yang diwakilinya.
Teori Likert didasarkan pada empat konsep esensial yaitu:
1. Efektifitas proses dan tanggung jawab grup dalam memaksimalkan motivasi anggota organisasinya.
2. Pengarahan terhadap motivasi tujuan bersama dengan overlapping organizational families.
3. Yang memegang peranan kunci dalam menghubungkan antara kedua subordinat adalah fungsi linking pin.
4. Pengembangan dari siklus feedback yang pendek (tidak berbelit-belit) berdasarkan pada riset yang mengevaluasi fungsi dari sistem sosial dan teknis.
Keinginan dan motif individu diarahkan menjadi sebuah tanggung jawab bersama, sementara ketentuan peran dalam sebuah organisasi dikembangkan melalui tanggung jawab bersama itu juga. Dengan adanya tanggung jawab bersama, terbentuk sebuah kesepakatan bersama yang menghasilkan umpan balik turun ke grup subordinat (subordinat) dan umpan balik naik ke pengawas.
Keuntungan dari penerapan Model Likert:
1. Permasalahah struktural dapat teratasi.
2. Konflik internal dalam persaingan antara kepala unit dan anggota unit dapat teratasi.
3. Efektivitas alur komunikasi.
4. Pemaksimalan penggunaan sumber daya, kemampuan, dan motivasi setiap anggota.
5. Keputusan akan lebih mudah diimplementasikan.
Kerugian dari penerapan Model Likert:
1. Opini subordinat menjadi bias karena mengalami (beberapa kali) pergantian komunikator sebelem mencapai pengawas utama.
2. Distribusi penghargaan atas apa yang telah dilakukan oleh salah seorang anggota subordinat akan sulit dilakukan.
3. Adanya perbedaan kepentingan antara subordinat akan menimbulkan masalah.
4. Adanya keinginan anggota subordinat untuk mengembangkan diri terhambat karena posisi subordinatnya.
Perspektif dan Berbagai Konflik dalam Human Relations Approach:
• Para pakar yang meneliti tentang Human Relations Approach mengungkapkan bahwa Human Relations Approach khususnya memfokuskan pada kinerja kelompok, dan merupakan suatu kondisi dimana suatu hubungan berkembang dan berperan. (Conrad and Poole 2004)
• Melalui tekanan yang ada pada human relations approach, tidak heran apabila konflik merupakan perhatian yang cukup besar bagi para pakar human relations approach. Dari perhatian tersebut timbul berbagai sistem untuk mengidentifikasi berbagai gaya ataupun strategi manusia yang digunakan dalam sebuah konflik serta menentukan cara yang efektif di berbagai situasi konflik yang berbeda.
• Adapun Blake and Mouton (1964) dan Jay Hall (1969) yang mengidentifikasi lima perbedaan dalam suatu konflik. Klasifikasi yang mereka bentuk didasarkan pada dua komponen konflik yang mendasar, yakni assertiveness (ketegasan) dan cooperativeness (kerjasama). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
ASSERTIVENESS (KETEGASAN): menetapkan tingkah laku yang diharapkan demi memuaskan kepentingan bersama.
COOPERATIVENESS (KERJASAMA): menetapkan tingkah laku yang diharapkan demi memuaskan kepentingan individu yang lain.
Gabungan dari komponen di atas dijabarkan secara spesifik kedalam lima gaya, antara lain:
1. A COMPETING (PERSAINGAN): Persaingan sangat tinggi unsur ketegasannya, namun sangat lemah pada unsur kerjasama. Dalam sebuah organisasi tentunya ada sebuah persaingan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini dijelaskan bahwa adanya sebuah hasrat untuk menundukkan yang lain, itulah yang biasa disebut sebagai pihak yang dominan dalam kelompok.
2. AN ACCOMMODATING (PENYESUAIAN): Penyesuaian berbanding terbalik dengan persaingan. Penyesuaian tidak bersifat tegas melainkan lebih menekankan pada kerjasama. Seseorang memberikan kesempatan pada yang lain untuk melaksanakan kepentingan mereka. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari suatu konflik yang merusak human relations.
3. AN AVOIDING (MENJAUHI): Tidak berada pada dua komponen di atas, baik ketegasan maupun kerjasama. Seseorang benar-benar menarik diri dan menolak untuk berurusan dengan konflik. Dalam hal ini seseorang dapat dideskripsikan sebagai pihak yang apatis, terisolasi, dan mengelak.
4. A COLLABORATING (BEKERJASAMA): Berada pada dua komponen di atas, yakni ketegasan dan kerjasama. Seseorang berusaha untuk mencapai sebuah solusi yang akan memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Bisa dikatakan gaya ini sebagai penyelesai masalah dan berintegrasi.
5. A COMPROMISING: Dalam gaya ini kedua orang yang berada dalam satu organisasi mengemukakan pendapat yang berbeda untuk mencapai kesepakatan.
• Perspektif human relations juga dikritisi karena lebih menekankan pada resolusi dan pelenyapan pada suatu konflik. Hal ini serupa dengan paradoks pada awalnya karena teori human relations telah mengakui bahwa konflik dan tekanan merupakan peristiwa yang dianggap biasa.
• Seperti yang telah dicatat oleh Perrow (1986), teori-teori human relations menekankan pada pengaturan suatu hubungan (managing relationships) yang pada akhirnya menghasilkan suatu kerjasama dalam suatu organisasi.
• Dalam human relations approach, konflik dianggap sebagai hal yang tidak dapat terelakkan atau tidak dapat dihindari.
Apa Peranan Human Relations Approach Terhadap Sebuah Organisasi Fungsional?
• Dalam organisasi fungsional, kendali didelegasikan dari manajemen teratas ke berbagai varian departemen fungsional seperti bagian penjualan, keuangan, dan produksi.
• Menurut Miles and Creed (1995), organisasi fungsional berjalan dengan sangat baik melalui sebuah filosofi manajemen human relations. Filosofi ini mengasumsikan bahwa pekerja dimotivasi oleh sebuah dorongan sosial layaknya ada unsur ekonomi dan menekankan pentingnya interaksi yang informal saat bekerja dalam tim.
• Pengelola (manager) dalam hal ini memfokuskan pada kepuasan individu pekerja/karyawannya. Dengan memuaskan kebutuhan tiap individu pekerja/karyawannya, maka produktivitas dalam organisasi juga akan meningkat.
• Meskipun kendali tidak didelegasikan dari pegawai/karyawan bawahan, pengelola (manager) mencari masukan dari para pegawai tersebut, itu adalah sebagian besar cara untuk memuaskan kebutuhan anggotanya.
• Kompetensi komunikasi yang terjadi di dalam organisasi fungsional kemungkinan besar sangat berbeda dengan apa yang ada pada organisasi terpusat/tradisional, terutama asumsi yang berbeda mengenai manusia. Karena human relations approach menekankan pada kepuasan individu, pengelola (manager) dalam organisasi fungsional membutuhkan pengetahuan tidak hanya mengenai aturan relasi komunikasi secara formal dan peraturan dalam organisasi yang menuntuk mereka untuk menghormati tiap atasan, tetapi peneglola (manager) juga membutuhkan pengetahuan relasi komunikasi secara informal dan mengenal tiap karakter individu pegawai/karyawannya.
• Dalam human relations approach merekomendasikan pada tiap pengelola (manager) untuk menyadari kepribadian, informasi dan kebutuhan tiap-tiap anggota pegawainya (sehingga pagawai merasa ada umpan balik). Sesuai dengan yang diungkapkan di atas, pengelola (manager) yang berkompeten kemungkinan besar memiliki skill dalam hal empatik mengenai keluhan-keluhan pegawainya, memberikan umpan balik yang sekiranya mampu memotivasi kembali pegawainya (Cusella, 1987), menggunakan persuasi sebagai titik untuk memenuhi keuntungannya, dan berkomunikasi untuk terus mendukungnya.
SUMBER INFORMASI:
Katz, D. & Katz,R.L. (1978) The social psychology of organizational (2nd ed.) John Willey & Sons.
Schein, E.H. (1992) Organizational culture and leadership (2nd ed.) Jossey-Bass, San Fransisco, CA.
Folger, Joseph.P., Poole, Marshall Scott., Stutman, Randall.K. 2005. Working Through Conflict : Strategies For Relationships, Groups, And Organizations. Boston : Pearson Education.
http://www.blackwellreference.com/public/tocnode?id=g9780631233176_chunk_g978140511697811_ss1-16
.