JURNALISTIK
Proses kerja jurnalis di Indonesia memegang prinsip Pers Pancasila, yang definisinya tidak jauh berbeda dengan Social Responsibility Pers. Pers Pancasila dirumuskan saat Sidang Pleno XXV oleh Dewan Pers pada Desember 1984, dengan definisi sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945." Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Definisi ini hampir sama dengan Social Responsibility Pers yang memiliki pengertian pers yang bebas, namun jujur dan bertanggung jawab.
Salah satu anak Bangsa, dyendlessly, pada bulan februari 2008 menyatakan, “Hingga kini perdebatan mengenai definisi konsep dari sistem pers Pancasila masih saja terjadi, dan belum mencapai satu kesepakatan pasti. Namun menurut Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) sistem pers Pancasila, yaitu pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab serta lebih meningkatkan interaksi positif serta mengembangkan suasana saling percaya antara pers, Pemerintah, dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata informasi di dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis. Sepertinya memang sebuah pendefinisian yang bertujuan cukup mapan.” (Sumber dari dyendlessly.wordpress.com) Berarti, menurut Bappenas, sistem pers yang dijalankan di
PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PERKEMBANGAN PERS DI
Pers
Sedangkan beberapa penghambat Pers Indonesia antara lain pandangan masyarakat terhadap wartawan yang dianggap selalu meminta amplop pada saat melakukan wawancara dengan narasumber, contohnya saat mewawancarai polisi, atau meliput suatu tindakan kriminal yang berhasil diatasi polisi, para wartawan dianggap akan meminta uang dari kepolisian jika ingin keberhasilan polisi itu diliput di media massa. Kemudian profesi wartawan dianggap urakan atau wartawan dianggap selalu berpakaian kumal, rambut acak-acakan, dan tidak rapi, sebab kebanyakan yang dilihat masyarakat Indonesia di televisi adalah wartawan-wartawan yang tampil tidak rapi, padahal kenyataannya tidaklah demikian, karena wartawan akan tampil rapi dan sopan jika mewawancarai narasumber yang sifatnya formal. Sebab akan sangat aneh jika wartawan tampil rapi dengan pakaian resmi, kemudian mewawancarai para korban bencana alam atau kecelakaan. Bahasa yang digunakan wartawan pada media cetak sering salah, contohnya dalam pengejaan kalimat, seperti jumat yang dieja jum’at, atau jadwal yang ditulis jadual, atau salah dalam susunan kalimat yang akhirnya malah membingungkan pembaca, contohnya jika judul beritanya “Pesawat Garuda Terjatuh Tepat Bawah Sungai Kota Jember”, lalu pers Indonesia sering tidak obyektif, dimana suatu berita sering ditambah-tambahi agar menarik minat masyarakat, padahal berita yang sesungguhnya tidaklah seheboh yang diberitakan. Contohnya kasus-kasus selebriti, jika ada yang bercerai, maka media sering memberitakan secara berlebihan mengenai dugaan adanya kekerasan dalam rumah tangga atau adanya pihak ke-3, padahal pasangan yang bercerai hanya bercerai karena alasan tidak cocok. Lalu penghambat pers
TANGGAPAN
Menurut Bapak Relasi Publik modern, Ivy Ledbetter Lee, “Komunikasi yang jujur adalah esensial dalam memenangkan dukungan publik yang dibutuhkan untuk sukses.” Berarti seharusnya, pers
Paulus Winarto, sang pengarang buku bestseller ‘First Step to be An Enterpreneur’, telah membuat suatu buku baru berjudul ‘How to Handle The Journalist’. Dalam bukunya ini, Paulus Winarto menyatakan, bahwa pers
Drs. Morissan, S.H., M.A. yang membuat buku ‘Jurnalistik Televisi Mutakhir’ juga menyatakan bahwa dalam pemberitaan, pers harus memberitakan informasi yang bersifat faktual, jujur, dan tanpa prasangka. Jadi laporan yang merupakan komentar atau analisis harus disebutkan sebagai komentar atau analisis.
Dean Kruckeberg dalam buku ‘GLOBAL JOURNALISM – Survey of International Communication’ karya John C. Merrill juga menyatakan, bahwa “’Journalism’ is what ‘journalists’ do.” (Jurnalistik adalah apa yang dilakukan para jurnalis), dan hal-hal ini menyangkut mencari berita, menyimpan, mengolah, dan menyalurkan berita itu kepada masyarakat secara tepat, jelas, dan jujur. Sungguh sangat disayangkan jika komentar-komentar para ahli ini tidak dijalankan dengan benar oleh pers
SOLUSI BAGI PENGHAMBAT PERKEMBANGAN PERS DI
Setelah mengetahui beberapa penghambat pers
Yang kedua tentang masalah berpakaian, hal ini bisa diatasi dengan menyarankan seragam yang rapi, sopan, dan nyaman untuk dikenakan para wartawan dalam usaha wawancara, jadi selain dapat dikenali lewat seragam yang dikenakan, para wartawan itu juga bisa tampil rapi dan dipandang baik oleh masyarakat umum.
Kemudian tentang masalah salah eja atau salah pengetikan pada kalimat-kalimat, para wartawan seharusnya diberi pengajaran tentang bahasa yang baik agar tidak mengulang kesalahan-kesalahan pada bahasa di surat kabar, hal ini dapat diatasi dengan perekrutan wartawan yang merupakan lulusan universitas yang baik, jadi wartawan-wartawan yang direkrut merupakan wartawan berpendidikan yang akan memperhatikan bahasa pada media massa dengan teliti.
Yang terakhir tentang bagaimana pers terlalu menghamba selera pasar, dan akhirnya menjurus kepada seringnya memberitakan suatu informasi yang tidak obyektif. Menurut kelompok kami, masalah ini merupakan penghambat pers terberat di
Apabila semua permasalahan itu dapat diatasi, maka pers
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, jangan malu-malu...